Saturday, April 10, 2010

Perihal Cinta Diri Sendiri Dan Saudara Muslim..






Syarah (Penjelasan) Shahih Bukhari oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Kitab Fathul Baari, Terjemahan, Pustaka Azzam

BAB IMAN

07. Mencintai Saudaranya Sebagaimana Mencintai Dirinya Sendiri adalah Sebagian Dari Iman

Dari Anas RA dari Nabi SAW bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”



Keterangan Hadist:

Al Karmani mengatakan bahwa lafazh iman sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, namun pada bab ini permasalahan yang diangkat berbeda dengan permasalahan sebelumnya, dimana pada pembahasan sebelumnya disebutkan (memberi makan adalah sebagian dari iman). Seakan-akan beliau mengatakan, bahwa kecintaan di sini adalah bagian dari iman.

Tidak sempurna keimanan orang yang mengaku beriman. Pada redaksi hadist yang diriwayatkan Al Mustamli menggunakan kata Ahadukum (seorang dari kalian). Ashili menggunakan kata Ahad (orang), sementara Ibnu Asakir, Muslim dan Abu Khaitsamah menggunakan kata ’Abd (hamba).

Apabila dikatakan, bahwa seseorang yang melaksanakan perintah dalam hadits ini (mencintai saudaranya), berarti imannya telah sempurna walaupun tidak melaksanakan rukun iman yang lain. Jawabannya, pengertian seperti ini diambil dari kalimat li akhihil muslim (kepada saudaranya yang muslim) melihat sifat-sifat yang lain bagi seorang muslim.

Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan la yablughu ’abd haqiqatul iman (seseorang tidak akan mencapai hakikat keimanan), maksudnya adalah kesempurnaan iman. Tetapi orang yang tidak melakukan apa yang ada dalam hadist ini, dia tidak menjadi kafir.

Hatta yuhibbu (sampai mencintai) hal ini bukan berarti bahwa tidak adanya keimanan menyebabkan adanya rasa cinta.

Ma yuhibbu linafsih (sebagaimana mencintai dirinya sendiri) dari kebaikan. Kata khair (kebaikan) mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan akhirat, sedangkan hal-hal yang dilarang oleh dien (agama) tidak termasuk dalam kategori al khoir. Adapun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebaikan.



Imam Nawawi mengatakan, ”Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan di sini bersifat ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan. Maksud lain dari cinta di sini adalah cinta dan senang jika saudaranya mendapatkan seperti apa yang dia dapatkan, baik dalam hal-hal yang bersifat indrawi atau maknawi.”

Abu Zinad bin Siraj mengatakan, ”Secara zhahir hadits ini menuntut kesamaan, sedangkan pada realitasnya menuntut pengutamaan, karena setiap orang senang jika ia lebih dari yang lainnya. Maka apabila dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, berarti ia termasuk orang-orang yang utama.”

Saya (Ibnu Hajar) berpendapat, ”Imam Iyad juga mengatakan demikian. Namun pendapat ini masih berpeluang dikritik, karena maksudnya adalah untuk bersikaf tawadhu’ (rendah hati), sehingga dia tidak senang untuk melebihi orang lain, karena hal ini menuntut adanya persamaan, sebagaimana firman Allah, ”Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dari berbuat kerusakan di (muka) bumi.” Semua ini tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan perbuatan dengki, iri, berlebihan, kecurangan dan lainnya yang termasuk dalam perangai buruk.

Sumber: Blog Menyambut Akhir Zaman


No comments: